Agar Tidak Malas Beribadah

Penyebab utama seseorang malas dalam beribadah adalah karena orang tersebut bergelimang dengan perbuatan dosa dan maksiat. Terkhusus dosa kecil yang sering diremehkan dan dilupakan kebanyakan manusia. Padahal salah satu sebab lesu, malas, dan meremehkan ibadah dan ketaatan. Orang yang terus menerus hidup dalam kebiasaan seperti ini akan mendapatkan murka dari Allah subhanahu wata’ala. Salah satu bentuk murka Allah tersebut adalah dengan dilenyapkannya manisnya iman dan Allah tidak akan mengkaruniakan kepadanya kelezatan dalam ketaatan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”

Inilah murka Allah yang akan menimpa orang yang bergelimang perbuatan dosa dan maksiaat. Selanjutnya orang tersebut tidak mampu untuk mengerjakan ketaatan dan ibadah, padahal sebenarnya semua itu menjadi jalan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah  berfirman,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy-Syura (42): 30).

Oleh sebab itu, sudah seharusnya sebagai kaum muslim kita menjauhi perbuatan maksiat dan dosa-dosa kecil sering dianggap remeh. Ini menjadi renungan buat kita, apakah selama ini kita dijadikan berat untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan? Apakah kita ini dijadikan malas untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan? Inilah tentunya yang kita khawatirkan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menyebutkan beberapa akibat buruk dari dosa beliau menyebutkan di antaranya adalah dosa menjadikan hamba berat melakukan ketaatan. Sehingga dosa itu menjadikan dia malas beramal shalih, menjadikan hatinya hitam kelam, akhirnya cahaya iman yang memberikan semangat berbuat ketaatan akan redup sedikit-demi-sedikit. Padahal ciri seorang mukmin disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (yang artinya),

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al Anfal: 2).

Tapi akibat maksiat, ketika kita menyebut nama Allah, hati kita tidak merasakan takut kepada Allah. Akibat maksiat, ketika mendengar ayat-ayat Allah bertambahlah keimanan kita. Bahkan terkadang kita merasa gersang ketika mendengarkan ayat-ayatnya. Kita khawatir termasuk orang-orang yang tidak diinginkan oleh Allah untuk berbuat kebaikan.

Seseorang bertanya kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, “Apakah obat bagi orang yang berat untuk mengerjakan kebaikan (ibadah) dan condong kepada syahwatnya padahal dia adalah orang yang mencintai kebaikan dan mencintai orang baik, dan dia juga membenci kejelekan dan membenci orang yang berbuat jelek? Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menjawab: Ketahuilah bahwa ada empat penyebab dalam masalah ini, yaitu: 1. Kebodohan. Dan cara menghilangkannya adalah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat. 2. Lemahnya iman, dan cara menguatkannya yaitu dengan merenungkan kekuasaan Allah dan membiasakan amal-amal sholeh. 3. Banyak keinginan dan harapan yang berlebih, dan cara mengobatinya adalah dengan mengingat mati serta selalu merasakan akan datangnya kematian di setiap keadaan dan waktu. 4. Memakan sesuatu yang syubhat, dan cara selamat darinya adalah dengan cara menjadi orang yang menjaga diri dari yang syubhat dan berhenti mengkonsumsi makanan yang haram.

Sebagian muslim beranggapan bahwa ibadah itu hanya melakukan praktik-praktik syariat yang berdimensi spiritual semata, seperti sholat, dzikir, dan lain sebagainya. Anggapan tersebut sebenarnya tidak keliru. Karena memang di dalam Al-Qur’an, Allah memberikan kabar bahwa demikianlah para malaikat beribadah kepada-Nya. Satu tujuan utama dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.  Dalam firmannya, Allah menyampaikan:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat (51): 56).

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, “Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka. Mengenai lafadz Illa Liya’budun Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibn Abbas, “Artinya, melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara suka rela maupun terpaksa.” Sedangkan menurut Ibn Juraij lafadz tersebut mengandung maksud, “Yakni supaya mereka mengenal-Ku.”

Dengan demikian ibadah adalah perintah yang tidak bisa ditinggalkan dengan alasan apa pun. Oleh karena itu, dalam rangka mencegah umat manusia dari kesalahan dalam hal ibadah, Allah pun mengutus Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai role model yang tentu seluruh umat Islam harus mengikutinya (ittiba) secara totalitas. Namun demikian, sekalipun ibadah kepada Allah merupakan perintah, hakikatnya Allah tidak membutuhkan ibadah manusia. Ibadah itu diperintahkan sebagai kewajiban adalah dalam rangka untuk kemaslahatan manusia itu sendiri secara keseluruhan meliputi kehidupan dunia dan akhirat.

Hal ini Allah tegaskan dalam ayat berikutnya, “Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan” (QS. Adz-Dzariyat (51): 57). Artinya, ibadah itu semata-mata memberikan manfaat bagi manusia itu sendiri. Ibadah manusia tidak sedikit pun akan menambah keagungan Allah. Demikian pula sebaliknya, pembangkangan manusia juga tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan Allah Ta’ala. Bahkan, bagi manusia yang mau beribadah kepada Allah dengan ikhlas, baginya disediakan kebaikan yang sangat luar biasa. Sebaliknya, jika membangkang, maka kedukaan luar biasa juga akan menjadi balasannya. Artinya, ibadah itu baik dan hakikatnya sangat dibutuhkan oleh setiap Muslim. Mengenai hal ini, Ibn Katsir mengutip satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. “Wahai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku akan menutupi kefakiranmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka Aku akan mengisi hatimu dengan kesengsaraan dan Aku tidak akan menutupi kefakiranmu.”

Dengan demikian, teranglah duduk perkara masalah ini, bahwa ternyata ibadah adalah hal utama yang tidak boleh ditinggalkan oleh setiap Muslim. Siapa saja yang meninggalkan ibadah karena mementingkan perkara lain, maka baginya jelas, kerugian yang tak terkira. Dengan kata lain, siapa yang taat dalam ibadah maka ia termasuk Muslim yang benar dan hidup hatinya. Dan, sebaliknya, siapa yang enggan apalagi membangkang dari beribadah, maka baginya kerugian tak terkira.

Jangan Berhenti dan Putus Beribadah

Menurut Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan, bagaimana ibadah malaikat kepada Allah. Karena malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan-Nya. Hal ini bisa dilihat dari ketaatan malaikat dalam ibadah yang tidak pernah terputus dan terhenti.

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya (21): 19-20).

Manusia, menurut Sayyid Qutb, bisa melakukan ibadah seperti itu sepanjang siang dan malam, tetapi tidak sama dengan apa yang malaikat mampu lakukan (dengan tasbih tanpa putus dan . Sebab malaikat tidak punya hawa nafsu. Manusia bisa menjadikan seluruh hidupnya sebagai ibadah tanpa harus meliburkan diri dan memutuskan segala kegiatan lain, hanya untuk bertasbih dan beribadah seperti yang dilakukan oleh para malaikat. Karena Islam menganggap segala gerakan dan napas sebagai ibadah bila seorang Muslim mempersembahkan dan menghadapkannya kepada Allah. Bahkan, walaupun hal itu merupakan kesenangan materi dengan menikmati kebaikan-kebaikan kenikmatan duniawi.

Jadi, setiap Muslim bisa tetap dalam ibadah selama 24 jam, sejauh apa yang dilakukan berupa amal-amal kebaikan. Mencuci baju, menyetrika, mengajar, menulis, membaca, berkata baik, memasak untuk keluarga, bahkan mencari nafkah dan seluruh aktivitas, menyayangi anak/istri/suami, bahkan hanya sekedar senyum, adalah ibadah, selama itu diniatkan karena Allah. Karena aktivitas bernilai ibadah jika memang niat awalnya adalah dalam rangka mendapat ridha Allah Ta’ala.

“Sesungguhnya setiap amalan bergantung pada niatnya,” (HR. Bukhari).

Tips Dalam Beribadah

Sesungguhnya. ibadah yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an secara eksplisit dan dicontohkan oleh Rasulullah tetap menjadi perkara yang sangat utama. Seperti sholat, membaca Al-Qur’an, membaca tasbih dan lain sebagainya. Akan tetapi, dalam perjalanan kehidupan, setiap Muslim pasti mengalami fluktuasi keimanan, sehingga kadangkala muncul rasa malas dalam melakukan ibadah. Seperti sholat Sunnah di tengah malam atau dzikir yang agak panjang, atau pun membaca Al-Qur’an sesuai komitmen yang sudah dibuat.

Terkait masalah ini, Abbdullah Ibn Mas’ud berkata, “Sesungguhnya bagi setiap hati ada saat-saat giat dan semangat, juga ada saat-saat lemah dan malas. Maka manfaatkanlah dengan beramal sebaik-baiknya tatkala ia giat dan semangat, kemudian istirahatkanlah tatkala ia lemah dan malas.” Berarti, tatkala hati semangat, lakukanlah ibadah dengan sebaik-baiknya dan manfaatkanlah waktu yang ada untuk beribadah. Karena hati yang sedang semangat laksana tanah yang sedang subur. Jadi, ditanami apa pun, semuanya akan tumbuh dengan baik. Tetapi, jika hati sedang malas dan tidak bergairah, maka istirahatkanlah ia dari berbagai aktivitas dan beban dan janganlah engkau paksakan. Karena itu ibarat tanah yang kering lagi tandus, yang tak mungkin bisa menumbuhkan apa pun.

Oleh karena itu Rasulullah tidak pernah lepas dari yang namanya istighfar. Dalam sehari setidaknya beliau beristighfar sebanyak 70 kali. Hal ini adalah dalam rangka untuk menjaga hati dari berbagai macam gangguan, satu di antaranya adalah gangguan kemalasan dalam beribadah. Dan, yang paling utama dari istighfar itu adalah agar Allah mengampuni dosa-dosa kita, kemudian memompa semangat kita dalam beribadah kepada-Nya, sehingga kebahagiaan dunia akhirat benar-benar dapat kita rasakan.

Demikian pula, sering kali kita masih mendapat gangguan ataupun bisikan setan. Hingga pada akhirnya kita merasakan malas atau enggan dalam beribadah. Contohnya malas shalat berjamaah, enggan bertadarus Al-Quran, sedikit berdzikir, kurang bersyukur, dan lain sebagainya. Jika kita mengalami hal tersebut, baiknya kita membaca doa berikut yang diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

“Allahumma ‘ainni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatika.” Artinya: ”Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu menyebut nama-Mu (pandai berdzikir), dan mampu selalu bersyukur kepada-Mu serta beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Ahmad).

Doa tersebut menggambarkan kedalaman jiwa, suasana hati, dan harapan seorang hamba Allah agar terbebas dari rasa malas untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Ibadah merupakan pekerjaan seorang hamba Allah dalam melaksanakan kewajibannya dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan doa adalah ‘induk’ dari setiap ibadah. Doa tersebut pernah disampaikan dari Mu’adz bin Jabal ra. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah memegang tangannya dan bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku sangat menyayangimu, demi Allah, sungguh aku sangat menyayangimu.” Kemudian Beliau melanjutkan, “Aku pesankan kepadamu wahai Muadz, jangan pernah engkau tinggalkan di belakang setiap shalat untuk membaca doa “Allahumma ‘ainni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatika.”

Allahu a’lam.

Artikel oleh Ustadz Sandy Rizki Febriadi, Lc.,M.A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

X