Karunia Allah Begitu Sempurna, Tapi Apa Balasan Kita Kepada-Nya?

Manusia hidup di dunia tentu tak lepas dari yang namanya proses. Dimulai dari janin hingga lanjut usia, hal tersebut memerlukan proses dan waktu. Pada awal kehidupan, manusia merupakan setetes air mani yang hina. Kemudian, di dalam rahim, air mani tersebut berkembang menjadi janin sempurna yang siap dilahirkan ke dunia. Tangisan bayi itu tentu disambut air mata bahagia kedua orang tuanya. Rasa sakit ibunya saat melahirkan hilang dalam sekejap ketika melihat anak yang baru saja dilahirkannya. Begitu pula dengan sang ayah, langsung mengumandangkan azan dan iqamah di kedua telinga buah hatinya.

Bayi itu lahir dengan sempurna. Badannya lengkap tanpa cacat, dan semua inderanya bisa berfungsi dengan baik. Seiring berjalannya waktu, bayi tersebut lambat-laun tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan rupawan. Dia membuat kagum siapa saja yang melihatnya. Ditambah lagi misalnya kecerdasannya yang di atas rata-rata teman sebayanya. Alangkah sempurnanya Allah dalam memberikan karunia kepada manusia. Tidak ada satu karunia pun yang Allah berikan, kecuali menjadi nikmat yang tiada tara bagi manusia.

Allah memberi indera yang lengkap lagi bagus fungsinya. Dia memberikan mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, lidah untuk mengecap dan berbicara, dan kulit untuk meraba benda yang ada di sekitar. Bayangkan, jika satu saja dari indera kita tak berfungsi, bagaimana jadinya? Tentu kita akan kesulitan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan indera tersebut.

“Hal yang selalu membuatku malu pada Rabbku adalah amalku cacat, ibadahku berpenyakit, tapi karunia-Nya selalu sempurna.” (Fudhail ibn Iyadh).

Kata-kata Fudhail bin Iyadh jika direfleksikan ke dalam diri kita dengan benar, tentunya diri kita akan merasa malu. Dalam keseharian kita, amalan yang dilakukan masih banyak cacatnya. Bahkan bukan hanya amalan yang cacat, tapi larangan Allah terus menerus kita langgar dengan melakukan berbagai macam maksiat. Akan tetapi, meskipun kita masih seperti itu, Allah tetap saja memberi karunia-Nya dengan sempurna. Meskipun kita masih melanggar larangan-Nya, Allah masih memberi kita berbagai kenikmatan, tidakkah kita malu?

Jika dianalogikan, seseorang yang selalu baik kepada kita, dirinya selalu ada di saat kita memerlukan. Selain itu, dia juga selalu memberi sesuatu yang menyenangkan hati kita. Akan tetapi, orang tersebut kita tak acuhkan, kita tidak membalas kebaikannya. Bahkan, berterima kasih pun tidak. Apakah kita tidak malu berbuat seperti itu kepada orang yang selalu ada saat kita memerlukan?

Wahai diri yang lalai, Allah memberi begitu banyak karunia kepadamu. Akan tetapi, kamu masih saja enggan melaksanakan perintah-Nya dan masih suka mengerjakan apa yang Allah larang. Seolah-olah, Allah tidak melihat apa yang kamu perbuat. Padahal, Penglihatan Allah meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu malu? Allah telah berbuat baik kepadamu, tapi apa yang kamu perbuat untuk Allah sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada-Nya?

Allahu A’lam.

Oleh Fadil Ibnu Ahmad (Penulis Buku “Dakwah Online”, Media Administrator Masjid Agung TSB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

X