Seputar Ibadah Qurban

Dzulhijjah merupakan bulan yang agung, karena di dalamnya terdapat ibadah-ibadah yang agung pula, seperti ibadah haji dan penyembelihan hewan qurban. Dzulhijjah juga termasuk salah satu dari empat bulan haram, di mana seorang muslim pada bulan-bulan itu harus benar-benar menjaga dirinya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, karena melanggar larangan-Nya pada waktu tersebut dosanya lebih besar. Begitu juga kebaikan di dalamnya akan diganjar dengan pahala yang lebih besar. Sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas Ra., “(Janganlah kalian menganiaya diri kalian) dalam seluruh bulan. Kemudian Allah mengkhususkan empat bulan sebagai bulan-bulan haram dan Allah pun mengagungkan kemuliaannya. Allah juga menjadikan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar. Demikian pula, Allah pun menjadikan amalan shalih dan ganjaran yang didapatkan didalamnya lebih besar pula.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26).

Seorang muslim seyogyanya menyambut baik datangnya bulan Dzulhijjah ini, yaitu dengan banyak melakukan kebaikan, salah satunya menyembelih hewan qurban pada tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah. Ibadah ini mempunyai banyak sekali keutamaan secara individual maupun sosial. Maka dalam kesempatan ini akan dijelaskan secara umum seputar ibadah qurban.

Pengertian Udh-hiyah

Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al-Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al-Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis). Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Idul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah II/366).

Keutamaan Qurban

Menyembelih hewan qurban termasuk amal salih yang paling utama. karena amalan tersebut sangat dicintai Allah. ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450).

Hadis tersebut didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun, kegoncangan hadis tersebut tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari Idul Adha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Di samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama, wajib bagi orang yang mempunyai kelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al-Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lihat Syarhul Mumti’, III/408). Di antara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Kedua, menyatakan sunnah mu’akkadah (ditekankan). Ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir jika tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).

Dalil-dalil sebelumnya merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan, “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120).

Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).

Hewan Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan bahiimatul an’aam (hewan ternak tertentu) yaitu unta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409).

Bagaimana dengan qurban kerbau? Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al-Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Seekor Kambing Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan, ”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Adapun yang dimaksud, “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan unta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dan seterusnya. Namun, seandainya ada orang yang hendak membantu shahibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shahibul qurban.

Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau unta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Di samping itu, terdapat alasan lain, yaitu; 1) Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta. 2) Kegiatan menyembelihnya lebih banyak.

Larangan Jual Beli Hasil Qurban

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut, “Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.’” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan hasan).

Bagaimana jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia? Atau panitia dapat jatah khusus? Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shahibul qurban dan bukan amil. Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban.

Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shahibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian penjelasan seputar qurban, masih banyak hal yang belum dipaparkan dalam tulisan ini, tapi setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran mengenai realita yang biasanya terjadi di sekitar kita. Wallahu A’lam.

(disarikan dari artikel www.muslim.or.id/fiqih qurban)

Oleh Ustadz M. Fauzi Arif, M.Kom.I.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

X